nojeraloff

by nojeraloff


Saat ini mereka telah berada di kediaman Kayyisa. Terlihat dari luar saja menyatakan bahwa Kayyi berasal dari keluarga yang sangat mampu.

Namun, ketika memasuki dalam rumah, suasananya begitu sepi. Benar-benar tidak ada orang lain selain Kayyi.

“Duduk dulu ya, gue buatin minum.” ujar Kayyi.

Yang lain mengangguk. Carissa mulai berjalan menyusuri sekitaran dan sampailah pada sebuah foto keluarga yang menurutnya tidak asing wajahnya. Namun, ia tidak memusingkan hal tersebut dan kembali berjalan untuk melihat-lihat.

Sedangkan Zura, Je, Helma dan Niel sedang mencari cara untuk bisa mencari sebuah latar belakang keluarga Kayyi bekerjasama dengan Granbour.

Guys! Gue lupa banget asli, es batu lagi habis, gue beli dulu ya di depan, kalian di sini dulu.” ujar Kayyisa tiba-tiba.

“Aku ikut kamu ya, Kay.” celetuk Carissa.

“Ayo, Sa.” ajak Kayyi.

Lantas mereka berdua pun pergi meninggalkan keempat temannya.

“Anjir, ini mah rezeki kita. Gas lah dicari.” ujar Helma.

Maka tanpa banyak berbicara, mereka semua berpencar untuk mencari yang mereka cari.

Helma mencari di lantai paling atas. Niel berada di lantai dua. Je berada di lantai satu. Dan Zura berada di area belakang rumah.

Masing-masing mencari dengan teliti. Mencari di ruangan satu dengan yang lainnya. Namun, tidak satupun dari mereka yang mendapatkan hal tersebut. Mereka pun kembali ke ruang tengah.

“Gimana?” tanya Niel.

Hanya gelengan yang ia dapatkan dari Zura dan Je.

“Helma mana?” tanya Niel lagi.

Benar saja. Helma masih belum terlihat.

Ting!

'Ke lantai tida sekarang.'

Iya, itu adalah pesan dari Helma. Maka tanpa membuang waktu lagi, mereka segera menaiki lift yang ada menuju lantai tiga yang merupakan lantai paling atas di rumah Kayyi.

Selang beberapa menit. Mereka sampai di tempat Helma berada.

“Ada?” tanya Je ketika sampai di samping Helma.

“Gue gak bisa periksa ruangan ini. Pakai password.” ujar Helma.

“Lo belum ada sentuh ini kan?” tanya Niel sembari menunjuk tombol-tombol nomor yang ada tepat di samping sebuah pintu besi itu.

“Belum.” balas Helma.

Lantas dengan sigap Niel mengeluarkan sebuah bubuk berwarna putih, kuas, plaster dari jaketnya. Ia memberikan bubuk putih tersebut di atas tombol dan menyapunya dengan kuas kecil, kemudian menempelkan plaster di setiap permukaan tombol. Dan ya, dia mendapatkan password untuk memasuki ruangan tersebut.

“Keren banget lo.” ujar Helma.

“Gue tau hal ini pasti bakalan terjadi dan untungnya gue punya yang kayak gini jadi gue bawa aja dari rumah.” jelas Niel.

Kemudia mereka segera memasuki ruangan tersebut. Tidak semuanya masuk, Je berada di luar sebagai penjagaan jika Kayyi dan Carissa telah kembali ataupun orang tuanya.

Sedangkan Helma, Niel dan Zura terlihat terkejut dengan isi dari ruangan ini.

“Hel, Niel, coba baca ini.” ujar Zura ketika ia melihat sebuah surat pernyataan cerai yang di tanda tangani oleh kedua orang tua Kayyi.

“Anjir.” ujar Helma.

Mereka mengalihkan pandangan menuju satu kertas di balik surat pernyataan tersebut.

“Pernikahan antara papanya kayyi dengan wanita lain? Dan marga wanita itu adalah Haeanor?” gumam Zura.

“Ngawur anjir. Ini biodatanya palsu, selama gue hidup belum pernah ngeliat muka ini perempuan.” ujar Helma yang diangguki oleh Zura.

“Jadi, maksud lo perempuan ini pakai identitas palsu?” celetuk Niel.

“Mereka balik!” ujar Je panik.

“Foto cepat!” ujar Zura kepada Helma.

#Haeanor 2

by nojeraloff


Kini mereka semua menunggu kedatangan Leozan Granbour yang kerap dipanggil Ojan itu.

“Dia beneran bisa keluar, Ra?” tanya Niel.

“Bisa katanya dan gue yakin dia bisa.” balas Zura optimis.

Sudah 45 menit mereka menunggu kedatangan Ojan. Semuanya masih berkumpul di sini, tidak ada satupun yang keluar ataupun sekedar bermain handphone.

“Selamat malam, Tuan. Di depan ada remaja bernama Leozan Granbour, katanya dia dipanggil oleh nona Zura.” ujar sang bodyguard kepada sang kakek.

“Beritahu dia jalan untuk datang ke sini.” ucap sang kakek.

Maka tidak butuh waktu lama lagi Ojan akan tiba di ruangan ini. Akan ada banyak pembahasan untuk malam ini.

“Permisi.” ujar Ojan yang telah tiba di sini.

“Iya, silahkan masuk.” ujar Sagreas.

“Apa yang bisa saya bantu?” ujar Ojan tanpa berbasa-basi lagi.

“Kamu bilang bahwa Renma, Kayyisa dan Carissa adalah mata-mata dari Granbour, benar?” ujar sang kakek.

Ojan mengangguk dengan tegas, “Iya, benar sekali.”

“Bisa kamu perjelas lagi soal Kayyisa dan Carissa? Untuk masalah Renma kami sudah tahu dari Niel.” ujar sang kakek lagi.

“Bisa. Saya baru mengetahui hal ini semalam. Terdapat kontrak kerjasama antara orang tua Carissa dengan orang tua saya. Kontrak tersebut dibayar dengan pemberian uang, tanah dan saham kepada orang tua Carissa. Saya punya membawa salinannya berupa fotocopy dan saya membawanya sekarang. Dan untuk Kayyisa, saya belum tahu pasti apa hubungannya dengan keluarga saya karena ketika saya sedang menggeledah ruangan penyimpanan berkas penting, penjaga yang menjaga di sana memergoki saya dan saya dikurung di kamar. Kenapa saya bisa sampai di sini? Saya mempunyai jalan pintas dari kamar menuju luar gerbang rumah saya. Sekiranya hanya itu yang bisa saya sampaikan.” ujar Ojan dengan jelas dan sopan.

“Gila.” ujar Zura pelan.

“Terima kasih. Saya mempunya rencana. Zura, Je, dan Helma, bisakah kalian mendatangi rumah Kayyisa untuk mencari tahu sesuatu?” ucap Sagreas, papanya Zura.

“Bisa. Zura bisa, pa.” ujar Zura.

“Kita bertiga juga bisa, om.” ucap Je.

“Bagus. Kita harus mengetahui latar belakang dari Kayyisa, lalu kita susun rencana selanjutnya. Kita harus mempunyai bukti yang kuat untuk membuktikan pembunuhan mereka terhadap Casvano. Memang kasus ini pernah diselidiki oleh pihak berwajib 5 tahun yang lalu. Namun, terjadi permainan kekuasaan yang membuat kasus ini ditutup begitu saja, sedangkan banyak nyawa yang hilang dikejadian penembakan saat itu. Maka dari itu, misi ini kita buat tidak hanya untuk mengadili kematian putra tersayang kita, namun juga mengadili banyaknya nyawa yang hilang atas kejadian itu.” ujar sang kakek.

“Keluarga lo keren.” ujar Ojan kepada Zura.

Zura hanya tersenyum. Dia mengakui bahwa keluarganya memang keren.

“Baiklah, pertemuan kita sampai di sini saja. Terima kasih atas waktunya.”

by nojeraloff


Hari ini adalah hari pertemuan keluarga besar Haeanor lagi setelah kabar tentang Renma yang telah sampai di telinga sang kakek, Casvaroch Haeanor.

Zura, Je, Helma dan Niel telah berada di ruangan meeting menunggu kedatangan yang lainnya.

“Ini si Ojan beneran bakal dipanggil?” tanya Helma kepada Zura.

Zura mengendikkan bahunya, “Gak tau pastinya sih, lihat saja nanti.” ujar Zura.

“Kata gue sih beneran dipanggil.” celetuk Niel.

Je menoleh dengan cepat, “Apa yang buat lo yakin?”

Feeling doang sih, soalnya si Ojan keliatan gak bohong waktu itu.” balasnya.

Yang lain mengangguk, memang benar, tidak ada kebohongan yang terpancar dari mata Ojan saat mengatakan hal itu.

Mereka yang semulanya sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing itu kini melihat pintu masuk dan melihat para anggota keluarga sudah berdatangan yang menandakan sang kakek telah tiba.

Suasana kali ini cukup tegang karena satu persatu musuh telah terungkap. Dan hal itu pasti membuat anggota tertua Haeanor tidak tinggal diam, alias akan langsung bertindak.

“Selamat malam.” ujar anggota tertua tersebut.

“Selamat malam juga.” balas semuanya.

“Tanpa basa-basi lagi saya akan langsung memberikan inti dari pertemuan kali ini. Renmansyah Dinanta adalah mata-mata dari Granbour. Renma sendiri adalah sekretaris di perusahaannya Zura yaitu Hzura Beauty. Dan sudah dipastikan, Renma mengetahui siapa saja anggota keluarga kita mengingat dia, Zura, Je dan Helma yang berteman sejak kecil. Dan hal yang paling besar ialah, Renma telah ditipu oleh Granbour. Granbour mengatakan kepadanya bahwa Haeanor telah membunuh orang tuanya, padahal kita sama sekali tidak mengenal Renma sebelumnya. Dan Renma membalas dendam kepada kita dengan memberitahu kepulangan anak tercinta kita, Casvano Haeanor. Yang mana mengakibatkan hal 'itu' terjadi.” ujar sang kakek panjang lebar.

Yang lain mulai sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Semua informasi ini didapatkan dari Niel. Dan Niel mendapatkannya dari Leozan Granbour. Yang katanya Leo ini tidak sama sekali turut andil dalam pembalasan Granbour kepada Haeanor. Apakah kalian semua mau jika saya mengundang Leo untuk hadir sekarang?”

Semuanya tampak berpikir, kemudian paman Zura berdiri dan mengucapkan, “Saya setuju.” dan membuat yang lain ikut menyetujui hal itu.

“Zura, silahkan panggil dia.” ujar sang kakek.

“Baik, kakek.” balas Zura.

by nojeraloff


5 tahun yang lalu

Zura sangat menantikan hari ini, hari dimana abangnya akan tiba di Indonesia dan tentu saja bertemu dengannya. Dia sangat menyayangi abangnya itu.

Mom, mana abang?” tanya Zura gusar, pasalnya ini sudah lebih dari jam tiba sang abang di Indonesia.

Ah iya, saat ini Zura dan mamanya berada di bandara untuk menjemput Casvano Haeanor, sedangkan sang papa masih berada di rumah kakeknya untuk membahasa suatu hal yang sangat penting.

“Mama juga gak tau, dear. Mama coba hubungin papa kamu dulu ya.” ujar sang Ibu, diapun sama halnya dengan Zura, khawatir.

Lantas Hanna mencari tempat yang tidak ramai akan orang yang berlalu-lalang untuk menelepon sang suami, Sagreas.

Sedangkan Zura tetap melihat ke pintu dimana orang-orang akan keluar berharap abangnya akan keluar dari sana.

“Where are you, bro?” gumamnya.

Hingga suara kegaduhan terdengar. Suara tembakan terdengar. Dan suara orang berteriak terdengar. Orang-orang segera berlarian mencari tempat perlindungan.

Tangan Zura segera ditarik sang ibu, Hanna, untuk mencari tempat perlindungan juga.

“Kenapa ada suara tembakan?” gumam Hanna.

Suara tembakan berlangsung selama 10 menit. Selang 10 menit suara itu hilang begitu saja.

“Ayo!” ajak Hanna kepada putrinya.

Hanna dan Zura berlari ke dalam dan melihat banyak sekali orang-orang tidak bernyawa di sini.

“Ma, abang...” ujar Zura lirih saat ia melihat seorang pria dengan koper kesukaannya terbaring lemah.

Lantas Hanna dan Zura segera berlari menuju Casvano.

“Bang? Casvano? Kamu bisa dengar mama?” ujar Hanna panik.

Casvano tersenyum tipis, “Iya, aku dengar.”

“Bertahan, ya? Kita ke rumah sakit.” ujar Hanna lagi, mencoba menahan rasa sakitnya melihat sang putra dalam keadaan seperti ini.

Casvano menggeleng, “Ma, aku udah gak bisa. Kalian jaga diri, ya? Dan kamu Zura, harus terbiasa tanpa abang, oke? Ingatkan hewan indah kesukaan abang?” ujar Casvano dengan suara lirihnya.

Zura menangis tersedu-sedu dan menganggukkan kepalanya.

“Kupu-kupu.” balas Zura.

“Siapa, bang? Siapa yang ngelakuin ini?” tanya Hanna.

“Granbour, kelihatannya mereka ingin membalas dendam. Abang mohon kalian jaga diri, abang sayang kalian.” itu adalah ucapan terakhir yang diucapkan Casvano.

Hanna tidak bisa lagi mengeluarkan air matanya. Ia segera memanggil ambulans untuk mengangkat jenazah sang putra.

“Zura? Dengar kata abang kamu, kan? You must be strong.” ujar Hanna.

Zura mengangguk. Kehilangan orang tersayang di usianya yang masih 15 tahun tentu saja membuatnya sakit hati, sesak dan trauma. Sejak hari itu, jika ia merindukan Casvano, ia selalu berbicara kepada kupu-kupu, ia tidak bisa tau apa yang dikatakan kupu-kupu, hanya saja jika ia sudah berbicara kepada hewan indah itu, ia akan tenang.

“Zura, abang suka banget sama kupu-kupu.”

“Zura juga suka! Mereka sangat indah dan mereka bebas ingin pergi kemana saja.”

“Zura, kalau abang gak bisa di sisi Zura nanti, Zura lihat aja kupu-kupu dan bicara sama mereka, oke?”

“Kenapa abang gak di sisi Zura? Abang selalu di samping Zura, kan?”

“Iya, abang usahakan.”

“Abang! Zura sekarang jadi CEO di perusahaan baru.”

“Widih, udah besar nih, gak kayak dulu yang masih ingusan.” ledek sang abang.

“Ih, jangan diingatkan. Abang kapan ke Indonesia?”

“Secepatnya, ya, nanti kita jalan-jalan.”

“Yes, can't wait.”

Sekelebat memori terlintas. Kenangan terindah yang tidak akan Zura lupakan sampai sekarang.

Di sisi lain,

“Kerja bagus, Renma. Kamu memberitahu papa di waktu yang sangat tepat.” ujar Pria itu.

“Terima kasih, Pa. Aku akan melakukan apapun untuk membalas perbuatan mereka.”

by nojeraloff


Renmansyah Dinanta adalah nama lengkapnya. Berasal dari keluarga yang banyak terlilit hutang membuat keluarganya hidup dengan sangat sederhana. Hutang terbesar keluarganya ialah hutang kepada keluarga besar Granbour.

Renma mempunyai seorang adik laki-laki yang bernama Cicho Dinanta. Ia dan adiknya terpaut usia 5 tahun.

Saat itu usia Renma masih menginjak 10 tahun. Saat dimana ia melihat mayat ayah dan ibunya tergeletak di atas tempat tidur. Tubuhnya bergetar hebat, dadanya sesak, air matanya mengalir begitu saja.

“Kami tau siapa yang melakukan ini kepada kedua orang tua kamu, nak.” ujar pria itu.

“Siapa?” tanya Renma, tatapannya penuh dengan rasa dendam.

“Haeanor, Keluarga Haeanor yang telah membunuh kedua orang tua kamu.” ucap pria itu lagi.

“Aku ingin balas dendam.” ucap Renma.

Ucapan saat itulah yang membuat Renma sampai sejauh ini.


Renma berusia 12 tahun saat ia pindah di rumah barunya. Ia bersama adiknya dan orang tua angkat palsunya.

“Bang, main keluar yuk, adik mau lihat-lihat halaman depan, manatau adik jumpa teman baru di sini.” celetuk Ciko.

“Yaudah, ayo.” ujar Renma.

Sesaat ia sampai di halaman rumahnya, ia melihat seorang anak perempuan sedang bermain dengan dua anak laki-laki di halaman teras depan rumah, sepertinya tetangga barunya itu juga baru saja pindah karena banyak mobil yang berisi beberapa barang mereka.

“Halo!” ujar anak perempuan itu.

Iya, dia Zura, tetangga barunya yang ternyata baru saja pindah dari Rusia.

Lantas Zura segera berlari menghampiri Renma dan adiknya. Sedangkan kedua anak laki-laki yang bersama Zura tadi hanya berdiam diri di belakang sana.

“Hai, siapa namanya?” tanya Renma kepada Zura yang telah berada di depannya ini, untuk menyamakan tinggi, maka Renma berjongkok.

“Zura, Hazura Haeanor.”

Renma terdiam. Oh, ternyata ini tujuan mereka mengirimnya untuk pindah ke sini. Agar ia bisa dekat dengan keluarga Haeanor.

“Namanya indah. Umur kamu berapa kalau boleh tau?” tanya Renma lagi.

Zura tersenyum, “Aku 9 tahun, kak! Nama kakak siapa?

“Oh, aku Renma.” balasnya.

Maka sejak pertemuan pertama itulah yang membuat mereka sedekat ini sampai sekarang.


“Ren, gimana kalau lo kerja di tempat gue? Jadi sekretaris gue.” tawar Zura, saat ini mereka berdua berada di rumah Renma.

“Serius lo?” tanya Renma.

“Iyalah, mau yaa? Lo kan bakal pindah dari sini.” ujar Zura lagi.

“Yaudah, gue mau.” balas Renma.

Zura melihat sekelilingnya kemudia teringat bahwa Renma mempunyai adik laki-laki, namun ia tidak pernah melihatnya lagi sejak ia berumur 10 tahun.

“Ren, lo kan punya adik, kemana adik lo?” tanya Zura.

Renma terdiam sebentar, kemudian, “By the way, gue boleh tau ga abang lo dimana? Kan lo punya abang, kan?” tanya Renma mengalihkan pertanyaan yang sebelumnya Zura berikan.

Seharusnya Zura sadar setiap kali ia menyinggung mengenai adik dan keluarganya Renma yang mendadak tidak ada di rumah, Renma selalu mengalihkan pembicaraan.

“Oh, abang gue besok balik dari Rusia, dia emang gak ikut gue dari awal dan nyusul ke sini, besok dia sampai.” balas Zura.

Renma terdiam. Inikah saatnya?

by nojeraloff


Sudah lima belas menit sejak kedatangan Je. Mereka bertiga kini hanya saling diam setelah terjadinya perdebatan kecil antara Ojan dan Je.

Pintu UKS terbuka dan memunculkan dua lelaki tampan berseragam putih abu-abu dengan wajah panik.

“Zura! Gimana? Lo gak apa-apa sekarang, kan? Terus itu si keluarga Granbour ga ada gangguin lo, kan?” ujar Helma panik.

“Gue gak apa-apa, Hel. Santai.” ujar Zura, sedikit tertawa karena melihat wajah panik sang sepupu.

“Syukurlah.” balas Helma.

Niel menatap lelaki lain yang tak lain ialah Ojan yang santai duduk di kasur sebelah. Yang lainnya juga ikut menatap Ojan. Sedangkan yang ditatap masih setia menutup matanya.

“Gue ganteng, kan? Makanya lo semua ngeliatin gue mulu.” ujarnya sambil menarik turunkan kedua alisnya.

“Gantengan gue.” balas Helma.

To the point aja, jujur lo di sini mau apa?” tanya Niel.

Ojan menatap Niel remeh, “Kerja lah, nih gue pakai jas dokter, gak lihat ya, lo?” balas Ojan.

“Serius, Jan.” celetuk Zura.

“Oh, lo mau gue seriusin ya, Ra?” kini tatapan Ojan beralih ke Zura.

“Apa-apaan, lo mau apa sih?” ujar Je.

“Gue udah bilang gue kerja dan gak ada maksud lain, gue juga gak kayak keluarga gue yang gak jelas musuhin keluarga lo pada.” ujar Ojan lagi.

“Bukti?” tanya Niel.

Semua tatapan mengarah ke Ojan. Sedangkan yang ditatap hanya menatap balik dengan tenang dan jangan lupakan ekspresi tengilnya itu.

“Orang yang ngikutin kalian di hari itu adalah Renma dan adik kandungnya yang bersekolah di sini. Renma bukan keluarga Granbour tetapi dia diangkat menjadi bagian dari keluarga Granbour sejak dia berumur 10 tahun.”

by nojeraloff


Sudah lima belas menit sejak kedatangan Je. Mereka bertiga kini hanya saling diam setelah terjadinya perdebatan kecil antara Ojan dan Je.

Pintu UKS terbuka dan memunculkan dua lelaki tampan berseragam putih abu-abu dengan wajah panik.

“Zura! Gimana? Lo gak apa-apa sekarang, kan? Terus itu si keluarga Granbour ga ada gangguin lo, kan?” ujar Helma panik.

“Gue gak apa-apa, Hel. Santai.” ujar Zura, sedikit tertawa karena melihat wajah panik sang sepupu.

“Syukurlah.” balas Helma.

Niel menatap lelaki lain yang tak lain ialah Ojan yang santai duduk di kasur sebelah. Yang lainnya juga ikut menatap Ojan. Sedangkan yang ditatap masih setia menutup matanya.

“Gue ganteng, kan? Makanya lo semua ngeliatin gue mulu.” ujarnya sambil menarik turunkan kedua alisnya.

“Gantengan gue.” balas Helma.

To the point aja, jujur lo di sini mau apa?” tanya Niel.

Ojan menatap Niel remeh, “Kerja lah, nih gue pakai jas dokter, gak lihat ya, lo?” balas Ojan.

“Serius, Jan.” celetuk Zura.

“Oh, lo mau gue seriusin ya, Ra?” kini tatapan Ojan beralih ke Zura.

“Apa-apaan, lo mau apa sih?” ujar Je.

“Gue udah bilang gue kerja dan gak ada maksud lain, gue juga gak kayak keluarga gue yang gak jelas musuhin keluarga lo pada.” ujar Ojan lagi.

“Bukti?” tanya Niel.

Semua tatapan mengarah ke Ojan. Sedangkan yang ditatap hanya menatap balik dengan tenang dan jangan lupakan ekspresi tengilnya itu.

“Orang yang ngikutin kalian di hari itu adalah Renma dan adik kandungnya yang bersekolah di sini. Renma bukan keluarga Granbour tetapi dia diangkat menjadi bagian dari keluarga Granbour sejak dia berumur 10 tahun.”

by nojeraloff


Kecewa, itu yang dirasakan Zura saat ini. Kenapa harus bohong? Zura takut, takut kalau-kalau kecurigaan ini benar.

“Gue ga bisa percaya lo lagi, Ren.” gumamnya.

Sudah sekian kali ia menggumam kalimat itu. Mengingat Renma adalah teman masa kecilnya bersama Je, maka dari itu ia sangat mempercayai Renma sampai segitunya dan diberi pekerjaan sebagai sekretarisnya.

“Ra?” panggilan lembut itu memasuki indera pendengarnya.

Zura melihat orang itu. Terlihat dari raut wajahnya bahwa ia khawatir.

“Fine?” tanya Je.

Zura menggeleng, ia tidak mau berbohong dengan kata 'Baik-baik saja.'

You can cry, lo punya bahu gue untuk nangis, mau ke UKS? Lo pucat.” ujar Je lagi.

Zura hanya mengangguk. Lantas dengan sigap Je membawa Zura menuju ruang UKS yang berada tidak jauh dari kantin sekolanya.


Terhitung sudah setengah jam Zura menangis di pelukan Je.

Sedangkan Je hanya mampu memberikan afeksi ketenangan dengan kata-kata yang menenangkan untuk Zura.

“Udah?” tanya Je setelah Zura melepaskan pelukannya.

Zura mengangguk, “Udah, makasih.” ucapnya dengan suara khas habis menangis.

Je tersenyum sembari merapikan rambut Zura yang berantakan.

“Belum sarapan? Gue belikan dulu, ya. Stay di sini aja, gak akan lama.” ujar Je yang dibalas anggukan kecil dari Zura.

Tidak lama setelah Je pergi, pintu UKS terbuka. Zura tidak bisa melihat siapa orang itu karena tirainya tertutup.

Orang itu melangkahkan kakinya menuju kasur di sebelahnya. Kemudian membuka tirai pembatas antara kasurnya dengan kasur Zura.

“ANJING!” ucap orang itu.

Zura pun juga terkejut akibat teriakan lelaki di depannya. Tidak lama kemudian Zura menyadari satu hal bahwa ia mengenalnya.

“Gue kira setan njir, pucat amat.” ujar lelaki itu.

Zura masih diam untuk menelisik wajah itu.

“Woi, kenapa lo? Oh, lo kenal gue? Gue kan mantan kakak kelas yang lo tabrak bolak-balik.” ujar lelaki itu.

“Terus lo ngapain di sini? Di UKS pula.” tanya Zura.

“Gue dokter di sini ya, gue mantan anak PMR terbaik, masa gak kenal?” ujarnya lagi.

“Emang gak kenal.” balas Zura.

“Yaudah kenalan, gue Leozan Granbour.”

Uhm, well.

by nojeraloff


Pagi ini ulangan kimia akan berlangsung di kelas Zura dan teman-teman. Zura diminta untuk mengambil buku absen yang tertinggal di meja Ms. Tika, guru kimianya.

Dengan langkah lebar, Zura berjalan menuju ruang guru untuk mengambil absen.

Setibanya, Zura segera mengambil buku absen tersebut dan segera kembali ke kelas.

“Toilet dulu kali, ya.” monolog Zura.

Memasuki toilet yang terbilang sangat sepi dan berkaca dan cermin guna merapikan helaian rambutnya yang turun dari ikatan rambut.

“Semoga yang diujiankan sesuai sama yang gue baca deh, takut banget njir.” monolognya lagi.

Setelah dirasa cukup, Zura segera keluar dan segera pergi ke kelasnya.

Sayangnya, di pertengahan jalan, tepatnya di tangga sebelah perpustakaan ia menabrak seseorang.

“Aduh! Maaf ya, kak.” ujar Zura.

Orang itu terdiam dan hanya menatap Zura dengan wajah datarnya. Zura pun begitu, menatap wajah pria di depannya yang menatapnya dengan wajah datar.

Matanya yang tajam seperti nata serigala. Rambut legam yang lebat. Postur tubuh yang mendekati sempurna. Tinggi yang kira-kira jika dihitung mengenai angka 179 cm. Zura menelisik semuanya dan tersadar bahwa ini adalah kakak kelas yang waktu itu dia tabrak.

“Halo, kak? Maaf ya.” ujar Zura sekali lagi.

“Lain kali dilihat jalannya.” balas lelaki itu lalu segera melangkahkan kakinya.

“Galak amat.” ujar Zura.

by nojeraloff


Hari ini hari Minggu, hari yang ditunggu banyak orang karena hari ini hari liburnya orang-orang yang selama seminggu telah beraktivitas.

Namun, berbeda dengan Haeanor Zura Nindya karena hari ini adalah hari dimana seluruh keluarga besarnya kumpul untuk membahas kelanjutan dari pembahasa pertemuan pertama kali. Hal lebih ditunggu dia ialah papanya yang akan memperkenalkan tangan kanannya kepada seluruh anggota keluarga Haeanor.

Saat ini sudah memasuki pukul 7 lewat 23 menit, hampir sebagian keluarga besar sudah tiba dan membuat suasana rumahnya ramai.

Ah, iya, Zura sudah beberapa minggu ini selalu tinggal bersama kedua orang tuanya, bukan di rumah asisten rumah tangganya.

“Zura! Turun lah kuy, udah ramai tuh.” ajak Belza, sepupu perempuannya yang baru saja tiba kemarin di Indonesia.

“Eh, iya kak, ayo!” jawab Zura.

Keduanya turun ke bawah dan benar saja sudah sangat ramai. Di sana, Je melambaikan tangannya ke arahnya dan disambut dengan lambaian tangan kembali oleh Zura.

“Udah lama?” tanya Zura setelah tiba dan duduk di samping Je.

Je menggelengkan kepalanya, “Belum, baru lima menit.” balasnya.

Zura menganggukkan kepalanya dan matanya mengitari setiap sudut rumahnya. Kakenya berada di ujung ruangan meeting ini bersama para lelaki di keluarganya, Ibunya berada di sisi lain bersama para wanita yang ada di keluarganya, sedangkan khusus anak dan cucu berada di sisi lainnya juga.

Tempat ini bukan tempat meeting yang sama seperti meeting pertama, ini berada di lantai satu tepat di ruangan tersembunyi di rumahnya yang hanya diketahui oleh seluruh anggota keluarga Haeanor.

“Hel, lo gak ada lihat tanda-tanda tangan kanannya papa?” tanya Zura.

“Gak. Di depan udah kosong, cuma ada bodyguard doang.” balasnya.

Zura lagi-lagi menganggukkan kepalanya, dirinya cukup gugup dengan suasana seperti ini.

“Baiklah, mari kita mulai pertemuan ini. Yang mana kita akan membahas tentang musuh kita yang sudah mulai bergerak kembali dan menyerang Zura, Helma dan Je saat malah hari. Serta, tangan kanan saya yang sudah sangat banyak membantu saya dalam menyelidiki hampir semua hal tentang musuh.” Sagreas membuka pertemuan ini.

“Saya selaku anggota tertua di sini ingin mengucapkan banyak sekali terima kasih kepada seluruh anggota yang sudah mau datang ke pertemuan ini.” ujar Casvaroch Haeanor, kakek dari Zura.

“Di pertemuan lalu kita membahasa tentang rumah keluarga kita yang paling tua yang berada di Medan. Dimana di rumah itu adalah saksi bisu persahabatan kedua keluarga hancur berantakan dan membuat kita semua menjadi seperti saat ini. Keluarga Haeanor dan keluarga Granbour adalah keluarga yang harmonis sebelum masalah itu tiba di sela-sela kedua keluarga ini. Kita semua tahu dari sekian banyaknya cerita, hanya satu cerita yang paling menyayat hati yaitu meninggalnya putra kita Casvano Haeanor, putra dari Sagreas dan Hanna-” jedanya karena mendengar tangisan kecil dari cucunya, Zura.

Zura tidak kuasa menahan air matanya agar tidak keluar. Dia sangat sakit hati dengan meninggalnya sang abang.

Je menenangkan gadis itu dengan menggenggam tangannya dan memberikan afeksi ketenangan kepada Zura.

“Maka dari itu, pertemuan kali ini, saya dan Sagreas sudah mendapatkan beberapa bukti namun belum cukup kuat untuk dilaporkan. Namun, saya mendapat kabar dari Sagreas bahwa tangan kanannya mendapatkan bukti lain yang belum sama sekali diketahui sama kita semua dan tetap saja kita harus melihat bukti ini terlebih dahulu, maka dari itu, Sagreas panggilkan dia.”

Semua orang sangat menantikan waktu ini. Mereka tidak dendam, mereka hanya ingin memberikan keadilan kepada salah satu anggota keluarga mereka.

Sagreas yang telah mendapatkan perintah dari Casvaroch pun segera keluar untuk memanggil tangan kanannya itu.

10 menit berlalu, terdengar pintu terbuka dengan akses sidik jari dan menampilkan orang itu.

Seketika Zura, Helma dan Jeyvan terdiam. Ini terlalu rumit untuk diungkapkan.

“Selamat malam semuanya. Saya Avniel Rendra selaku tangan kanannya pak Sagreas Haeanor.”

Iya, dia adalah Niel, teman sekolah mereka bertiga.

Niel menatap ketiga temannya dan tersenyum penuh arti kepada mereka.