nojeraloff

Sekarang langit sudah menunjukkan kegelapannya, terlihat sangat cerah. Bintang dan bulan saling berdampingan. Semilir angin yang mulai membuat tubuh merasa sedikit menggigil karena hembusan dinginnya. Suara jangkrik mulai mengalun.

Di sini, Haza dan Clara berada. Di sebuah Luxurious Restaurant. Mereka berada di lantai paling atas, lebih tepatnya rooftop.

Terlihat wajah yang sangat bersemu menatap sosok di depannya dengan kagum. Yah, Clara saat ini sedang dinner bersama Haza.

“Kak, kamu kenapa ngajak aku dinner?” tanya Clara dengan wajah malu-malu.

Haza menatap Clara, sejujurnya dia sangat tidak ingin berada bersama gadis ini, namun semua ini demi Alen, kekasihnya.

“Yah, ada yang mau aku omongin.” balas Haza.

Clara mengulum senyumnya, “Apa yang mau kamu omongin kak?”

Haza memberikan sebuah kalung, kemudian memakaikannya ke Clara, terlihat Clara yang sangat bahagia.

“Wanna be my girlfriend?” ujar Haza setelah memakaikan kalung tersebut.

Clara mengangguk antusias, “Mau kak.”

Haza tersenyum tipis. Clara memeluk Haza yang terpaksan harus Haza balas. Tepat setelah itu, Kembang api mulai bermunculan yang menandakan tahun telah berganti.


Berbeda dengan pasangan yang baru saja jadian, di sini, Alen berada di sebuah tempat yang biasanya membuat Jaydan tenang.

“Kembang apinya cantik banget!!” ujar Alen dengan antusias.

Jaydan tersenyum kecil dengan ocehan yang terus saja keluar dari bibir Alen.

“Seneng?”

Alen segera menoleh ke Jaydan, “Iya! Gue seneng banget.”

Jaydan tertawa, kemudian memberikan jagung bakarnya ke Alen dan diambil dengan baik oleh Alen.

“Ini tahun baru pertama tanpa kak Haza.” celetuk Alen tiba-tiba.

Jaydan panik, takut-takut jika Alen kembali bersedih seperti beberapa menit yang lalu.

“Alay! Sekali-kali lah tahun batuan sendiri, enjoy your own time.” balas Jaydan.

Alen menatap Jaydan, “Bener juga kata lo, kak. Gue harus punya waktu sendiri, gak perlu terusan bareng sama orang-orang.”

“Nah, pinter. Pulang yuk? Udah jam setengah satu.” ujar Jaydan.

Alen mengangguk. Keduanya segera memasuki mobil dan kembali pulang denagn alunan lagu dari radio.


© nojeraloff

Saat ini mereka semua tengah berkumpul di ruangan pribadi Yudha, papanya Haza. Dan jangan lupakan tentang Deron yang telah pulang.

“Jadi, apa yang lo dapatkan?” Jerico membuka obrolan.

Yudha menatap Jerico, kemudian memberikan dua kertas yang tulisannya sangat persis. Satu adalah surat yang ia dapatkan dan satunya lagi surat perjanjian kerjasama.

“Sama.” ujar Faldo.

Yudha dan Deron mengangguk, “Mereka orang yang sama. Bodoh sekali menulis surat dengan tulisan tangan, hal ini sangat mudah untuk terlacak.” ujar Yudha.

Yang lain menyimak, benar ucapan Yudha, namun hal ini belum bisa membuktikan pelakunya bisa dihukum.

“Siapa? Siapa orangnya?” tanya Alen yang sedari tadi bungkam.

“Raffa Aldiano, CEO dari perusahaan ZICO Corp.” tutur Deron menjawab semua pertanyaan yang ada pada pikiran orang-orang di sana.

“Hah? Papanya Clara?” ujar Alen terkejut.

“Wah, gila, like father like daughter.” ujar Faldo.

Yudha menghembuskan napasnya. Melihat ke arah Jerico yang saat ini tengah memendam emosinya.

“Ada kemungkinan dia ada hubungannya dengan kejadian Laudya, kita harus cari bukti lain, mengingat semua jejak hilang saat pemeriksaan.” jelas Yudha.

“Raffa juga yang buat perusahaan gue sempet jatuh, tapi gue biarin aja karena gue pikir itu bukan masalah yang besar, ternyata gue salah.” ujar Jerico.

“Bang, lo bisa bantu kita kan?” tanya Haza.

Deron mengangguk mantap, “Gue bisa, gue juga bawa kawalan dari US ke sini, sekalian mau masang penyadap di setiap ruangan ini, takut-takut kalau ada orang dalam.” jelasnya.

Haza merasa bangga dengan abang tirinya itu, “Kalau gitu, kita ketemuan lain waktu aja, nanti pada curiga, apalagi gak ada yang tau tentang Alen dan Haza yang pacaran.” ujar Haza.

Yang lain mengangguk setuju, untuk saat ini seenggaknya mereka tau siapa pelakunya, mereka masih harus menyembunyikan identitas Alen sang bungsu dari keluarga Olde, dan menyembunyikan tentang status antara Haza dan Alen.


© nojeraloff

Saat ini mereka semua tengah berkumpul di ruangan pribadi Yudha, papanya Haza. Dan jangan lupakan tentang Deron yang telah pulang.

“Jadi, apa yang lo dapatkan?” Jerico membuka obrolan.

Yudha menatap Jerico, kemudian memberikan dua kertas yang tulisannya sangat persis. Satu adalah surat yang ia dapatkan dan satunya lagi surat perjanjian kerjasama.

“Sama.” ujar Faldo.

Yudha dan Deron mengangguk, “Mereka orang yang sama. Bodoh sekali menulis surat dengan tulisan tangan, hal ini sangat mudah untuk terlacak.” ujar Yudha.

Yang lain menyimak, benar ucapan Yudha, namun hal ini belum bisa membuktikan pelakunya bisa dihukum.

“Siapa? Siapa orangnya?” tanya Alen yang sedari tadi bungkam.

“Raffa Aldiano, CEO dari perusahaan ZICO Corp.” tutur Deron menjawab semua pertanyaan yang ada pada pikiran orang-orang di sana.

“Hah? Papanya Clara?” ujar Alen terkejut.

“Wah, gila, like father like daughter.” ujar Faldo.

Yudha menghembuskan napasnya. Melihat ke arah Jerico yang saat ini tengah memendam emosinya.

“Ada kemungkinan dia ada hubungannya dengan kejadian Laudya, kita harus cari bukti lain, mengingat semua jejak hilang saat pemeriksaan.” jelas Yudha.

“Raffa juga yang buat perusahaan gue sempet jatuh, tapi gue biarin aja karena gue pikir itu bukan masalah yang besar, ternyata gue salah.” ujar Jerico.

“Bang, lo bisa bantu kita kan?” tanya Haza.

Deron mengangguk mantap, “Gue bisa, gue juga bawa kawalan dari US ke sini, sekalian mau masang penyadap di setiap ruangan ini, takut-takut kalau ada orang dalam.” jelasnya.

Haza merasa bangga dengan abang tirinya itu, “Kalau gitu, kita ketemuan lain waktu aja, nanti pada curiga, apalagi gak ada yang tau tentang Alen dan Haza yang pacaran.” ujar Haza.

Yang lain mengangguk setuju, untuk saat ini seenggaknya mereka tau siapa pelakunya, mereka masih harus menyembunyikan identitas Alen sang bungsu dari keluarga Olde, dan menyembunyikan tentang status antara Haza dan Alen.

Setelah menunggu beberapa menit, pintu utama terbuka dan membuat Alen segera berdiri untuk menyambut papa dan abangnya.

“Kok belum tidur?” tanya papanya begitu melihat Alen berdiri menunggunya.

Ale menggelengkan kepalanya ribut, “Mau tau isi paketnya.” balasnya kemudian.

Kedua pria di depannya itu menghela napasnya. Jerico menatap ke arah paket yang berada tepat di meja ruang tamu, maka langkah kakinya menuju ke sana, diikuti kedua anaknya.

“Tadi yang ngirim beneran gak ngasih tau nama pengirimnya?” tanya Faldo ke adiknya.

Alen menggeleng, “Gak, tadi kurirnya cuma minta foto.” ucapnya polos.

Sontak membuat ke empat mata menatapnya, “Terus kamu mau difoto?” tanya Jerico.

“Eyyy, Aku gak sebodoh itu paa, gak lah, aku suruh pak satpam yang difoto, untung mau kurirnya.” balasnya yang membuat kedua pria itu menghela napas lega.

Tak mau membuang waktu agar anak gadisnya itu bisa tidur, Jerico membuka bungkusan paket itu, hingga sampai pada kotak sedang.

“Pa, yakin ga ada yang aneh?” tanya Faldo meyakinkan kembali isi hati dan kepalanya.

“Kita belum buka isinya, liat aja dulu.”

Setelah itu, Jerico membukanya dan betapa terkejutnya dia dan kedua anaknya. Isinya ialah foto sang mendiang istri yang sedang menghadiri sebuah pertemuan disertai dengan sebuah surat, surat tangan.

“Pa, ini kan mama.” ujar Alen.

Alen mengambil foto tersebut, air matanya menetes mengingat semua kejadian yang terjadi pada keluarga mereka di masa lampau.

“Jangan, jangan nangis, sayang.” ucap Jerico kemudian membawa anak gadisnya itu ke dalam pelukannya.

Faldo membaca isi surat itu, surat yang berisi semua kisah mamanya sebelum bersama papanya, kisah cinta mamanya di waktu SMA.

“CEPAT CARI SIAPA YANG MENGIRIM INI!” sentak Jerico kepada para bodyguardnya.

Tak tahu saja ada salah satu dari mereka yang tersenyum puas.


© nojeraloff

“Keluarkan semua tugas kalian.” ujar Bu Vely, guru matematika wajib.

Seluruh murid mengeluarkan tugasnya, dan mulai mengoreksinya.

Lain halnya dengan Aya yang saat ini sedang sibuk membongkar isi tasnya.

“Loh, flashdisk gue kemana.” paniknya.

“Ada apa dengan kamu, Aya?” tanya Bu Vely yang terganggu dengan pergerakan Aya.

“Saya nyari flashdisk bu, tugas Alen ada di situ.” jawab Aya.

“Alen kemana?” tanya balik Bu Vely.

“Izin bu, dia izin seminggu.” ujar Sira selaku sekretaris kelas.

“Yasudah, nanti saya kosongin saja nilai dia, biar dia yang jumpai saya nanti.” ujar Bu Vely lagi.

Alen menyugar rambutnya ke belakang dan menghela napas panjang, “Kok bisa hilang sih, mana hp gue lowbat, ini laptop juga udah gue hapus filenya, anjirlah.” kesalnya.

Lain dengan Clara, dia... tersenyum puas dengan hasil usahanya, iya, usaha agar Alen tidak mendapatkan nilai di pelajarannya Bu Vely.

Sekarang Alen sudah berganti pakaian yang serba hitam. Fyi, setiap Alen akan ke kantor papanya, gadis itu selalu menyamar dan memakai serba hitam. Karena memang keberadaannya sangat disembunyikan dari siapapun.

“Udah siap?” tanya Haza, melihat ke arah Alen yang saat ini sedang memasang wajah seriusnya.

Haza terpesona. Alen yang saat ini berada disampingnya bukanlah Alen yang biasanya selalu bersamanya, Alen sangat menawan.

“Udah.” balas Alen.

Mobil khusus itu melaju dengan kecepatan yang tinggi. Ah, iya, kenapa disebut dengan mobil khusus? Mobil ini sudah dirancang khusus untuk situasi yang saat ini sedang terjadi, situasi yang chaos, dimana mobil ini sudah dipasang kaca anti peluru, kaca yang jika dipandang dari luar tidak tembus ke dalam, namun dari dalam tembus ke luar. Seperti itulah.

Akhirnya, setelah 45 menit perjalanan, mereka tiba. Alen turun dengan kaca mata hitam dan masker hitamnya. Untuk menjaga penyamaran itu, Haza turun belakangan. Setelah dilihatnya Alen sudah memasuki lift, barulah Haza turun.


“Ayo pa, jelasin semua yang aku gak tau.” tegas Alen.

Yah, saat ini mereka, Jerico, Faldo, Alen dan Haza sudah berkumpul di ruangan papanya.

“Before of that, kamu harus bisa nerima semuanya ya? Ada alasan kenapa papa gak ngasih tau kamu tentang ini, karena...” ucapan itu terhenti, Jerico menatap anak gadisnya dalam, kemudian menghela nafas,

“Karena ini mungkin akan membuat trauma kamu kembali.” sambungnya.

Alen terdiam, “It's okay, just tell me the truth.”

“Semua ini ada sangkut pautnya dengan kematian mama kamu. Papa sudah meminta bantuan dari papanya Haza, orang yang selama ini selalu menjadi penyusup adalah orang suruhan, dan papa masih mencari tau siapa orang itu.” ujar Jerico, sesekali ia menatap cemas ke Alen.

Alen menggigit bibirnya, matanya sudah berkaca-kaca. Haza membawa tangan Alen ke dalam genggamannya.

“Bang Deron juga bakal bantu, pa, dia balik ke Indo minggu depan.” tambah Haza.

“Terima kasih, ya. Kamu tolong jaga Alen.” Haza megangguk pasti.

“Untuk sementara, jangan ke kantor ya dek, kalaupun mau ke sana inget pakai mobil khusus dan ada pengawalan ketat.” ujar Faldo.

Alen mengangguk. Kemudian, menatap papanya, “Aku mau ikut cari tau siapa pelakunya.”

Tidak peduli dengan penampilan yang sangat berantakan. Memakai baju unicorn, mata yang sembab, dan rambut yang super kusut, Alen terus berlari menuju pintu depan.

Malam ini angin sangat kencang dan dingin. Di sana, Alen melihat Haza sedang menunduk sambil bersandar.

Alen menangis. Haza yang melihat keadaan Alen sedikit terkejut kemudian langsung memeluk tubuh mungil itu. Alen menangis sejadinya, memukul kecil tubuh sang kekasih.

“K...kamu jahat kak.”

Haza mengangguk, “Iya, aku jahat.”

Sembari menenangkan sang gadis, Haza mengelus punggung untuk memberikan kesan nyaman.

“Aku mau jelasin semuanya.” ujar Haza.

Alen melepas pelukannya dan menatap Haza dengan tatapan yang lembut.

“Jelasin, kak.”

Haza tersenyum, merapikan rambut sang kekasih, kemudian menceritakan semuanya dengan detail sesuai dengan apa yang terjadi.

“Kamu percaya aku, kan?” ujarnya lagi.

Alen mengangguk, “Aku percaya sama kamu, kak.”

Haza menghela napas lega kemudian mengecup kening sang gadis dan kembali memeluknya.

“I'm falling in love with you, Alen”

Saat ini beberapa perusahaan sedang dalam pertemuan untuk merayakan kesuksesan mereka semua dalam project bersama.

Tanpa diduga, Clara bertemu dengan Haza. Memang benar Haza sedang berbicara dengan teman papanya. Clara pun memfoto Haza dan dikirimkan ke kedua temannya. Namun, dia sedikit terkejut dengan respon temannya.

“Pah, aku boleh ngobrol sama Kak Haza anaknya temen papa yang itu.” ujar Clara kemudian menunjukkan orang yang dimaksud.

“Boleh, sana ngobrol.” balas papanya.

Clara pun beranjak dan berjalan menuju Haza. Setibanya, Haza sedikit terkejut karena melihat Clara.

“Hai, kak. Ngobrol bentar yuk.”

Haza melihat papanya. Ketika mendapatkan balasan 'iya' dari papanya, Haza pun berdiri kemudian mengikuti langkah Clara.

“Gak nyangka banget bisa ketemu kamu, kak.” ucap Clara yang memulai obrolan.

“Gue juga.” jawab Haza.

Clara tersenyum malu-malu, sudah dipastikan pipinya sangat merah saat ini. Haza yang melihat tingkah Clara hanya menghela napas.

“Kak/Clara.” ujar mereka bersamaan, kemudian tertawa kecil.

Keduanya terdiam. Ah, mereka saat ini sedang duduk di salah satu tempat yang memang terbilang sepi dan jauh dari jangkauan penglihatan orang-orang.

Clara menggerakkan tangannya menuju tangan Haza. Ketika sudah dekat, Clara menggenggam tangan itu. Haza sadar, kemudian langsung melepas tangan Clara.

“Jangan gini, Ra.” ujar Haza kemudian segera pergi dari sana.

Clara sedikit kecewa, namun ia kembali tersenyum karena ia berhasil mengambil foto saat tangannya menggenggam tangan Haza.


© nojeraloff

Selepas Twitter-an, Diva melihat sekeliling, sudah sepi, sepertinya semua murid sudah masuk ke kelas mereka, memang bel masuk sudah berbunyi sejak tadi.

Wali kelas sekaligus guru bahasa inggrisnya pun tiba, “Ayo, nak, masuk.” ujar Miss Sera.

Diva mengangguk, “Baik, Miss.” ujarnya, kemudian segera masuk mengikuti langkah Miss Sera.

Semua pasang mata langsung menatapnya bingung. Mungkin mereka bingung karena Diva adalah murid baru yang akan berada di kelas mereka, XII MIA-2.

“Baik anak-anak, selamat pagi semua. Sekarang ini kalian sedang kedatangan murid baru pindahan dari Jakarta, ayo perkenalkan diri kamu.” ujar Miss Sera.

Diva tersenyum, “Halo semua, salam kenal, aku Nadheeva Quenysha, biasa dipanggil Diva, mohon bantuannya yaa.”

“Nah, sudah pada kenal, kan? Ada yang mau bertanya?” tanya Miss Sera.

Satu orang mengangkat tangan, Jarsya, “Kita pernah ketemu gak sih?” tanya Jarsya yang membuat semua atensi langsung mengarah ke mereka berdua.

Diva mengerutkan dahinya, “Kayaknya gak deh.”

“Pernah, di mimpi gue, di sana lo jadi istri dari anak-anak kita.” ujarnya lagi dengan wajah tengilnya.

Hal itu sontak membuat seluruh murid tertawa. Memang seperti itulah, Jarsya. Biyan dan Galen saja sudah pasrah dengan tingkah temannya ini.

“Kamu ini, sudah, nak, kamu duduk di depan Biyan, ya.”

Diva mengangguk. Biyan mengangkat tangannya agar Diva tau tempat duduk yang dimaksud Miss Sera. Setelah duduk, ada satu hal yang mengganjal di dalam benaknya.

“Kayak pernah denger namanya...”

Di lain sisi, Biyan juga membatin, “Kayak Kenal.”


© nojeraloff

Selepas Twitter-an, Diva melihat sekeliling, sudah sepi, sepertinya semua murid sudah masuk ke kelas mereka, memang bel masuk sudah berbunyi sejak tadi.

Wali kelas sekaligus guru bahasa inggrisnya pun tiba, “Ayo, nak, masuk.” ujar Miss Sera.

Diva mengangguk, “Baik, Miss.” ujarnya, kemudian segera masuk mengikuti langkah Miss Sera.

Semua pasang mata langsung menatapnya bingung. Mungkin mereka bingung karena Diva adalah murid baru yang akan berada di kelas mereka, XII MIA-2.

“Baik anak-anak, selamat pagi semua. Sekarang ini kalian sedang kedatangan murid baru pindahan dari Jakarta, ayo perkenalkan diri kamu.” ujar Miss Sera.

Diva tersenyum, “Halo semua, salam kenal, aku Nadheeva Quenysha, biasa dipanggil Diva, mohon bantuannya yaa.”

“Nah, sudah pada kenal, kan? Ada yang mau bertanya?” tanya Miss Sera.

Satu orang mengangkat tangan, Jarsya, “Kita pernah ketemu gak sih?” tanya Jarsya yang membuat semua atensi langsung mengarah ke mereka berdua.

Diva mengerutkan dahinya, “Kayaknya gak deh.”

“Pernah, di mimpi gue, di sana lo jadi istri dari anak-anak kita.” ujarnya lagi dengan wajah tengilnya.

Hal itu sontak membuat seluruh murid tertawa. Memang seperti itulah, Jarsya. Biyan dan Galen saja sudah pasrah dengan tingkah temannya ini.

“Kamu ini, sudah, nak, kamu duduk di depan Biyan, ya.”

Diva mengangguk. Biyan mengangkat tangannya agar Diva tau tempat duduk yang dimaksud Miss Sera. Setelah duduk, ada satu hal yang mengganjal di dalam benaknya.

“Kayak pernah denger namanya...”

Di lain sisi, Biyan juga membatin, “Kayak Kenal.”