nojeraloff

“Ayo silahkan maju kelompok 1 dengan anggota kelompok Deara, Jeena, Joshua, Satya, dan Vica.” ujar Bu Desti selaku guru Biologi.

Setelah dipanggil, kelimanya segera maju ke depan dan memulai presentasi mereka. Memasuki sesi tanya jawab, kelompok 2 tepatnya Biel, mengangkat tangannya,

“Terima kasih, karena sudah memberikan saya kesempatan untuk bertanya, saya ingin bertanya tentang bunyi Hukum Mendel ll beserta contohnya, terima kasih.”

Setelah itu dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan yang lainnya.

Kemudian kelompok 2 maju, yang anggotanya adalah Clara, Biel, Elvan, Mahesa dan Verie.

Selama mereka mempresentasikan, Alen sibuk mencari flashdisknya yang mendadak hilang. Karena sibuk sendiri, Alen mendapat teguran dari Bu Desti,

“Kamu kenapa sibuk sendiri sedangkan temanmu sedang presentasi di depan?”

Alen menunduk, “Maaf bu, saya mencari flashdisk saya yang berisikan file presentasi kelompok 3 bu, tidak ada di tas saya.”

Bu Desti mengernyitkan dahinya, “Kenapa bisa tidak ada? Kamu yakin sudah memasukkan ke dalam tas?”

“Sudah bu, tadi teman-teman saya juga sudah mengingatkan saya.”

“Coba kamu cari lagi, takut ke selip buku lain.”

Alen mengangguk. Yang lain juga tampak gelisah, karena jujur tadi mereka sudah melihat kalau Alen membawa flashdisknya.

“Tetap gak ada, Len?” tanya Aya.

Alen menggeleng lemah lalu menatap teman sekelompoknya dengan mata berkaca-kaca, tentu saja yang lain panik.

“Haduh jangan nangis, Len.” panik Rafa.

“Iya, gapapa kalo kita gak maju, kita bisa maju minggu depan kok.” ujar Laksmana mencoba menenangkan Alen.

Sira juga mengangguk, “Udah jangan nangis.”

“Cengeng, gak papa kali, Len.” sambung Aya.

Alen mengangguk sambil terus bergumam maaf. Bukan apa, dia tau temannya sudah bekerja keras saat mengerjakannya, tetapi dengan cerobohnya, ia malah menghilangkan flashdisknya.

“Berarti tinggal kelompok 3 ini ya, yang belum maju?” ujar bu Desti.

“Iya bu.” ujar Aya.

“Bu, yang gak maju dikurangin dong nilainya, kan ibu cuma ngasih waktu seminggu.” celetuk Clara, yang lain menatapnya setuju.

“Tentu saja, akan ada perbedaan nilai dari kelompok yang hari ini sudah maju. Jam pelajaran ibu sudah habis, kalian silahkan istirahat.” balas bu Desti

Pukul 14.50 WIB, yang artinya sudah memasuki waktu pulang. Sekarang, Alen dan teman sekelompok ya sedang berada di parkiran karena menunggu Aya yang lagi mengeluarkan mobilnya.

“Len, kita duluan lah ya, panas njir.” ujar Rafa sambil membuat gestur kepanasan.

“Tuan rumahnya aja masih ngambil mobil, tapi kalau lo bedua mau duluan yaudah gih.” balas Alen.

Tidak lama kemudian, Aya datang dengan mobilnya.

“Alen, Sira, ayo masuk, panas anjir.” seru Aya dari dalam mobil.

“Lo bedua duluan aja.” ucap Sira sebelum memasuki mobil Aya.

Laksmana dan Rafa mengangguk, kemudian keduanya segera melajukan motor mereka.

“Mampir dulu ga?” tanya Aya.

“Kalau gak ada makanan ya mampir lah, yakan, Ra?”

Sira mengangguk, “Iyalah, belajar juga butuh energi.”


“Njir lama lo pada.” omel Rafa.

Laksmana mengangguk menyetujui. Sekarang mereka berdua berada di depan gerbang karena merasa tidak enak jika duluan masuk ke dalam rumah.

“Beli cemilan, nanti planga-plongo kayak orang gak ada tujuan.” sambar Aya.

Keduanya tertawa, “Thanks ya, Ay.” ujar Laksmana.

Kelimanya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.

“Duh kayaknya handphone gue ketinggalan di mobil deh.” ujar Alen tiba-tiba.

“Lo mah lupaan mulu, ambil sana.” ucap Aya yang mendengar perkataan Alen.

Alen hanya menunjukkan senyumannya kemudian segera pergi keluar menuju mobil Aya. Setelah dapat, Alen langsung bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Namun, langkahnya berhenti karena merasa ada yang aneh. Melihat ke sekitar, nihil, tidak ada satupun orang.

“Perasaan gue aja kali, ya?”

Setelah itu, ia melangkahkan kakinya kembali masuk ke dalam rumah.

“Udah dapet?” tanya Aya.

Alen mengangguk. Kembali melanjutkan tugasnya yang tadi dikerjakan.

“Sira, ambilin keripik itu dong.” ujar Laksmana.

Sira menatap sinis Laksmana, namun tetap mengambilkan keripik yang dimaksud.

“Tangan sama kaki lo fungsinya buat apa sih? Dari tadi nyuruh gue mulu.” omel Sira.

Laksmana tertawa, “Galak bener.”

“Lagian lo, jalan kek atau ngesot aja sekalian, deket doang anjir.” ujar Rafa yang geram dengan tingkat kemageran Laksmana.

“Apasih berisik.” balas Laksmana.

“Lo bedua mending ketik ini, gue cape.” ujar Aya.

Keduanya langsung manut. Dan terjadilah, Rafa mengetik dan Laksmana membacakan ringkasan yang telah mereka buat tadi.

“Lo baca yang bener elah.” omel Rafa.

“Gue udah bener, anjir, pendengaran lo yang salah.” balas Laksmana.

“Kuping gue gak salah ya, ah lo mah, ngajak ribut mulu.”

“Heh, udahan dulu, udah sore banget nih, ntar kemaleman pulangnya.” ujar Sira yang cukup jengah dengan perdebatan mereka.

Keduanya langsung mengerjakan dengan tenang tidak seperti sebelumnya yang penuh dengan cekcok.

“Gini kan enak, adem.” celetuk Alen.

Setibanya, Jaydan segera memberikan tiket masuk ke dalam venue yang disediakan oleh pihak universitas. Sudah pasti Alen mendapatkan tempat yang paling depan.

“Besar juga tempatnya, gue kira gak sebesar ini.” gumam Alen seraya melihat sekitarnya.

Ketika melihat sekitarnya, dirinya tidak sengaja bertemu dengan kedua manik dari Clara.

“Aduh, kenapa jumpa Clara, nanti dia banyak tanya lagi gimana gue bisa dapet tempat paling depan.”

Benar saja, Clara dan Aya mendatangi Alen yang sudah duduk dengan nyaman di tempatnya.

“Wah, ketemu Alen, nih. Kok bisa dapet tiket duduk paling depan?” tanya Clara ketika tiba di samping Alen.

Alen tersenyum, “Gue dapet dari kak Jaydan.”

“Tuhkan, lo pasti ada apa-apa nih sama kak Jaydan.” tuduh Clara.

“Ngga lah. Gue sama dia temenan biasa elah, ribet lo.” balas Alen.

Aya yang melihat itu hanya bisa menghela napasnya, “Dahlah, mau mulai nih, mending lo duduk Ra di sana.” ujar Aya lalu menunjuk tempat duduk yang berada di samping kanan Alen.


Acara sudah dimulai. Pembukaan dibuka oleh MC, dan dilanjutkan dengan penampilan lainnya. Semua orang menikmati pertunjukan yang ada.

Hingga penampilan Haza Hardhean akan dimulai. Terlihat seorang Haza yang sedang tersenyum di atas panggung. Sangat tampan.

“Halo semuanya, selamat malam. Terhitung udah beberapa bulan gue gak tampil gini di atas panggung, apa kabar semuanya?” ujar Haza di atas sana, matanya tidak sengaja bertubrukan dengan manik indah kekasihnya.

Terdengar balasan dari seluruh penonton yang ada termasuk Alen.

“Gila! Kak haza makin ganteng aja.” ujar Clara dengan antusias.

Aya mengangguk, “Iya, anjir, dulu waktu SMA aja gak kalah ganteng, sekarang makin ganteng aja.” ujar Aya seraya melirik Alen.

Alen menyadari lirikan Aya dan tersenyum bangga sambil membatin, 'iyalah, pacar gue.'

“Okelah, kalau gitu semoga kalian menikmati penampilan gue, ya.” ujar Haza sebagai kalimat penutupnya.

Alunan musik mulai terdengar, petikan gitar dari Haza yang indah, dan Haza yang terlihat sangat indah di atas sana.

Lagu pertama yaitu lagu dari Rich Brian yang berjudul Dat $tick. Dengan deep voice yang membuat semua orang merinding sekaligus kagum. Gerakan khasnya dalam bernyanyi juga membuat semua orang semakin asik dalam mengikuti alunan musiknya.

Alen merekam penampilan kekasihnya itu. Walaupun sudah sering mendengar Haza bernyanyi, tetap saja hal ini harus diabadikan.

“Ganteng banget. Soon to be my boyfriend ya, kak.” gumam Clara yang didengar oleh Alen.

Tiba di penampilan terakhir yaitu penampilan dari Jaydan Praman, lagu yang ia bawakan adalah lagu dari Jeremy Passion dengan judul Lemonade dan When We Were Young by Adele.

Suaranya yang tidak kalah merdu mampu membuat semua orang terhanyut dalam suasana. Puncaknya ketika lagu kedua dinyanyikan olehnya, semuanya merasa merinding.

“Itu cowok lo nyanyi, Len. Kak Jaydan ganteng ya.” ujar Clara.

“Temen bukan cowok gue.” tekan Alen.

“Santai kali.” ujar Clara.

Alen hanya mendiami saja. Jika ia membalas, bisa-bisa akan panjang urusannya.


Kini semuanya sudah selesai. Alen diminta untuk menunggu di dalam mobil Haza. Sembari menunggu kekasihnya itu, Ia menonton ulang video Haza ketika bernyanyi dan tidak berhenti tersenyum ketika melihat itu. Hingga Haza tiba dan masuk ke dalam mobil.

“Aku ganteng, ya?”

Alen mengangguk, sejujurnya dia tidak sadar akan kehadiran Haza.

Gemas akan hal itu, Haza mengusak rambut Alen hingga berantakan. Hal itu membuat Alen terkejut.

“Sejak kapan kamu di sini kak?”

“Tadi, kamunya asik liatin yang di handphone sih makanya gak sadar ada aku.” rajuknya

Alen tertawa, “Jelek. Tapi kak, kamu keren banget tadiiii.”

Haza tertawa dan memasang wajah yang menyebalkan, “Iya dong keren.”

Alen dan Haza tertawa. Kemudian keduanya segera pergi dari sana, bisa bahaya jika ada yang melihat mereka berdua dalam satu mobil.

Di perjalana, Alen menyetel lagu yang ada di radio dan kebetulan lagu yang dimainkan adalah lagunya One Direction yang berjudul You And I.

“Kak! Lagu iniiiii.” ujar Alen dengan sangat antusias.

Haza mengangguk semangat dan tersenyum. Mereka bernyanyi bersama.

“Kak, menurut kamu nih, makna dari lagu ini apa?” tanya Alen dengan raut yang penuh dengan rasa penasaran.

“Menurut aku, ini lagu tentang perjuangan dalam mempertahankan cinta.”

Alen mengangguk setuju, “Sama kak, karena kan di setiap percintaan gak ada yang mudah, pasti ada aja masalah yang datang. Makanya kalau udah berani jatuh cinta, harus berani nerima resikonya.”

Haza tersenyum, “Pinter, makanya kita harus bisa bertahan satu sama lain, kalau ada apa-apa langsung bilang jangan lari.”

Alen tersenyum dan mengangguk. Haza Hardhean is Alen's universe and weakness.

Saat itu masa orientasi sekolah sudah berakhir. Setiap murid akan datang ke mading untuk melihat daftar nama mereka beserta kelasnya masing-masing.

“Kita satu kelas, ay.” ujar Alen setelah melihat nama mereka

“Serius? Dari dulu anjir satu sekolah, satu kelas mulu.” ujar Aya setelah mendengar perkataan Alen

“Iya, ya? Bosen gue.” balas Alen

Aya menatap Alen sinis, “Gue juga bosen kali.” keduanya tertawa.

Setelah memasuki kelas, mereka duduk terpisah, karena memang hanya satu meja dan kursi perorangnya.

“Ay, itu kasian gak ada temennya.” ujar Alen saat melihat sekeliling kelasnya dan melihat seorang gadis yang duduk sendiri di pojok kelas.

Aya yang mendengar ucapan Alen pun segera melihat ke arah yang dimaksud, dan benar saja.

“Gue samperin kali ya?” ujar Alen.

“Samperin sana, mumpung masih ada tempat kosong nih di depan.” balas Aya.

Alen segera berjalan menuju tempat gadis itu berada. Setibanya, Alen segera mengulurkan tangannya, “Hai, kenalin nama gue Alen, duduk di depan aja yuk? Bareng gue sama temen gue.” ujarnya.

Gadis itu, ah lebih tepatnya Clara menatapnya dengan diam kemudian mengangguk tanpa membalas uluran tangan Alen. Alen hanya bisa memaklumi, mungkin belum terbiasa, begitulah pikiran Alen.


Sepulang sekolah, Alen menunggu angkutan umum di depan gerbang sekolah. Clara yang melihat itu memandangnya remeh, kemudian berjalan ke arah Alen.

“Lo naik angkutan umum?” tanya Clara setelah tiba di samping Alen.

Alen yang mendengar perkataan Clara dengan nada remehnya hanya tersenyum dan mengangguk.

“Gak ada jemputan gitu? Masa naik angkutan umum sih, sekolah lo ini biayanya mahal loh, dapet dari mana lo?”

“Gue dapet beasiswa, Ra. Eh udah ada tuh, gue duluan ya.” ujar Alen kemudian segera menaiki angkutan umum tersebut.

Diperjalanan pulang, Alen tidak sengaja melihat orang yang mirip dengan papanya, Jerico. Maka untuk menghilangkan rasa penasarannya, Alen turun dan menghampiri pria itu.

“Loh, papa kok di sini?” tanya Alen dengan ekspresi terkejutnya.

Jerico juga sama kagetnya sama Alen terus senyum ke Alen, “Papa mau nyoba jadi tukang sate, capek harus duduk terus di kantor.”

Alen hanya bisa pasrah dengan tingkah papanya ini.

“Ternyata gak ada ya pekerjaan yang enak, papa capek ngipasin satenya.” keluh Jerico.

Alen menghela napasnya kemudian membantu papanya untuk mengipas sate tersebut. Semua tindakan Alen dilihat oleh Clara dari kejauhan.

“Pantes, anak tukang sate ternyata.” ujar Clara remeh.

Saat itu masa orientasi sekolah sudah berakhir. Setiap murid akan datang ke mading untuk melihat daftar nama mereka beserta kelasnya masing-masing.

“Kita satu kelas, ay.” ujar Alen setelah melihat nama mereka

“Serius? Dari dulu anjir satu sekolah, satu kelas mulu.” ujar Aya setelah mendengar perkataan Alen

“Iya, ya? Bosen gue.” balas Alen

Aya menatap Alen sinis, “Gue juga bosen kali.” keduanya tertawa.

Setelah memasuki kelas, mereka duduk terpisah, karena memang hanya satu meja dan kursi perorangnya.

“Ay, itu kasian gak ada temennya.” ujar Alen saat melihat sekeliling kelasnya dan melihat seorang gadis yang duduk sendiri di pojok kelas.

Aya yang mendengar ucapan Alen pun segera melihat ke arah yang dimaksud, dan benar saja.

“Gue samperin kali ya?” ujar Alen.

“Samperin sana, mumpung masih ada tempat kosong nih di depan.” balas Aya.

Alen segera berjalan menuju tempat gadis itu berada. Setibanya, Alen segera mengulurkan tangannya, “Hai, kenalin nama gue Alen, duduk di depan aja yuk? Bareng gue sama temen gue.” ujarnya.

Gadis itu, ah lebih tepatnya Clara menatapnya dengan diam kemudian mengangguk tanpa membalas uluran tangan Alen. Alen hanya bisa memaklumi, mungkin belum terbiasa, begitulah pikiran Alen.

Sepulang sekolah, Alen menunggu angkutan umum di depan gerbang sekolah. Clara yang melihat itu memandangnya remeh, kemudian berjalan ke arah Alen.

“Lo naik angkutan umum?” tanya Clara setelah tiba di samping Alen.

Alen yang mendengar perkataan Clara dengan nada remehnya hanya tersenyum dan mengangguk.

“Gak ada jemputan gitu? Masa naik angkutan umum sih, sekolah lo ini biayanya mahal loh, dapet dari mana lo?”

“Gue dapet beasiswa, Ra. Eh udah ada tuh, gue duluan ya.” ujar Alen kemudian segera menaiki angkutan umum tersebut.

Diperjalanan pulang, Alen tidak sengaja melihat orang yang mirip dengan papanya, Jerico. Maka untuk menghilangkan rasa penasarannya, Alen turun dan menghampiri pria itu.

“Loh, papa kok di sini?” tanya Alen dengan ekspresi terkejutnya.

Jerico juga sama kagetnya sama Alen terus senyum ke Alen, “Papa mau nyoba jadi tukang sate, capek harus duduk terus di kantor.”

Alen hanya bisa pasrah dengan tingkah papanya ini.

“Ternyata gak ada ya pekerjaan yang enak, papa capek ngipasin satenya.” keluh Jerico.

Alen menghela napasnya kemudian membantu papanya untuk mengipas sate tersebut. Semua tindakan Alen dilihat oleh Clara dari kejauhan.

“Pantes, anak tukang sate ternyata.” ujar Clara remeh.

Setelah selesai makan malam, dua sejoli ini memutuskan untuk pergi ke taman yang dipenuhi dengan jajanan pinggiran.

Setelah memesan beberapa jajanan, mereka segera mencari tempat duduk untuk menikmati suasana dan tentu saja makanannya.

“Kak, jagungnya enak banget, aku mau lagi deh, sekalian buat papa sama abang.” ujar Alen yang tentu saja hanya diangguki oleh Haza

Menikmati jagung bakarnya sambil menunggu kekasihnya kembali ke tempat, Alen bersenandung kecil.

Rintik-rintik hujan mulai turun, terlihat Haza yang berlari ke arah Alen yang tetap berada di tempat sambil memakan jagungnya.

“Sayang, hujan nih, masuk ke mobil gih, aku nungguin jagung dulu.” ujar Haza yang sudah tiba di dekat Alen

Alen menatap Haza yang sudah setengah basah, “Aku mau main hujan, kak.”

Haza menatap datar ke arah Alen. Melihat tatapan Haza, Alen pasrah untuk kembali ke mobil. Bukan apa, Haza tidak mau Alen sakit seperti terakhir kalinya.

“Padahal kan gue mau main hujan, galak banget sih.” gerutu Alen setelah memasuki mobilnya

Tidak lama kemudian, Haza kembali dengan jagung bakar yang diminta Alen.

“Kenapa?” tanya Haza setelah melihat wajah Alen yang benar-benar jutek

“Aku mau main hujan tau, kak.”

Haza menghembuskan napasnya, “Aku gak mau kamu sakit, sayang.”

Alen cemberut. Dengan secepat kilat, Haza mengecup bibirnya Alen.

“Jangan ngambek, kita pulang.”

Alen tidak membantah. Kaget, karena that's the first time Haza kissed her lips.

“Kamu liat post tadi gak, kak?” tanya Alen ke Haza yang saat ini sedang memperhatikannya memainkan handphone

Haza menaikkan alisnya sebelah, “Yang mana?”

Alen segera menunjukkan isi dari pembahasan yang terjadi di Twitter beserta tweeted dari Clara.

“Konteks dia ngetik gitu bikin salah paham, kak.” ujar Alen

Haza mengangguk, “Yaudah biarin aja, intinya kan aku jalan sama kamu, cantik.”

Alen mengangguk, “Bener sih, yaudah deh, biarin aja.”

Haza tersenyum kemudian mengelus pelan rambut Alen. Alen membuang pandangannya ke arah yang lain, asal tidak menatap Haza. Pipinya blushing.

Malam ini Haza dan Alen akan dinner bersama. Saat ini Haza telah tiba di kediaman keluarga Alen. Sambil menunggu Alen siap, Haza berbincang dengan abang dan papanya Alen.

“Jadi kamu akan meneruskan perusahaan papa kamu?” ujar papanya Alen, Jerico

Haza mengangguk, “Iya, pa.”

Jerico mengangguk-anggukkan kepalanya, “Nanti kalau kamu udah ambil alih perusahaan, papa mau kamu nikahin anak papa.”

Haza sedikit terkejut namun sebisa mungkin ia berusaha untuk tetap biasa saja, “Iya, pa. Aku sama Alen juga udah lama kenal satu sama lain, rencana aku juga gitu, pa. Eh papa malah to the point gini, padahal aku takut belum direstuin hahaha.”

Jerico tertawa mendengar ucapan calon menantunya itu, “Papa mah setuju aja, kamu sudah bisa buat Alen bahagia semenjak kejadian yang kelam itu.”

Haza terdiam. Jika mengingat kejadian itu ia selalu merasakan apa yang Alen rasakan. Sangat sakit.

Tidak lama kemudian, Alen turun. Tersenyum melihat kedua lelaki yang ia sayangi tengah berbincang serius.

“Waduh, ngomongin apa nih? Asik banget.” ujarnya saat sudah berdiri di belakang papanya

“Kepo kamu, udah kasih makan Didi, belum?” ujar Jerico yang tentu saja membuat Alen menghela napas

“Udah, pa. Takut banget Didi gak dikasih makan.”

Jerico tertawa, “Yasudah, sana pergi.”

“Papa ngusir Alen ya?”

“Enggak, cantik. Kasian tuh Haza udah nungguin dari tadi.”

Alen tersenyum kemudian menyalin papanya, “Yaudah, Alen pergi dulu ya, pa.”

Jerico mengangguk, “Be careful, kamu jagain anak papa ya, Haza.”

Haza mengangguk, “Pasti, pa.”

Keduanya berjalan keluar menuju mobil. Bertemu dengan Faldo yang baru saja pulang dari kantornya.

“Mau kemana nih, rapi banget.” ujarnya saat melihat dua sejoli itu

“Mau saturdate, makanya punya pacar dong biar bisa diajak jalan-jalan.” ujar Alen mengejek abangnya

Faldo menatap sinis Alen, “Nanti gue punya pacar kaget lo.”

Alen tertawa, “Lucunyaaa, udah ya kak, nanti telat nih.”

“Ya, hati-hati.”

“Bang, ceoet punya pacar ya, biar gak sendirian mulu kemana-mana.” ujar Haza lalu segera membawa Alen pergi agar tidak menjadi sasaran kekesalan Faldo

Setelah dua sejoli itu pergi, Faldo tersenyum hangat, “Jagain Alen ya, dia berhak bahagia.”

setelah mendapatkan balasan dari Alen, pria ini menghembuskan napasnya. Ketika pintu terbuka dan terlihatlah seorang pria yang merupakan abang dari kekasihnya ini, Faldo.

“Malam, bang.” ucap Haza canggung

Faldo hanya menatapnya, “Mana martabaknya?”

Haza menatap bingung, “Anjir bang, gue cuma beliin buat Alen.”

“Pulang lo, gak ada inisiatifnya buat beliin gue.”

“Gue kira lo belum pulang elah bang.”

Ditengah perdebatan yang tidak jelas itu, Alen datang ke depan dan menatap aneh kedua pria yang berada di depannya sekarang

“Kalian ngapain sih ribut di sini?”

Haza menatap berbinar kepada Alen, jujur saja dia kangen padahal baru aja jumpa tadi pagi.

“Gue masuk, kalian pada awas aja buat yang macem-macem.” ucap Faldo kemudian segera beranjak dari sana meninggalkan Alen dan Haza

Sekarang tinggal mereka berdua, menatap satu sama lain dengan tatapan yang dalam.

“Mau peluk.” ujar Haza dengan wajah khasnya yang sekarang terlihat seperti anak kecil yang merengek

Alen tertawa. Lalu segera memeluk pria kesayangan setelah kedua pria yang berada di rumahnya. Pelukan yang hangat dalam beberapa menit membuat keduanya nyaman.

“Kangen kamu.” gumam Haza

Haza mengeratkan pelukannya dan mengelus rambut panjang dan lebat Alen. Sedangkan Alen memberikan afeksi kenyamanan dengan mengelus pelan punggung Haza.

“Lepas, kak.” ujar Alen

Pelukan terlepas menampilkan wajah cemberut Haza yang terlihat sangat lucu.

“Lebay lo kak.” ujar Alen lalu duduk di kursi yang ada di teras

Haza juga ikut duduk kemudian memberikan martabak yang ia beli untuk Alen.

“Kan aku baru hari ini bisa ketemu kamu.” rajuknya

Alen tersenyum, “Iya deh. Anyway gimana sama kuliah kamu kak?”

“Ya kayak biasa, sibuk ngurusin acara kampus akhir-akhir ini, aku bakal manggung lagi nanti sama temen-temen.”

Alen terkejut, “Seriusan kak? Ih aku bisa dateng gak?”

Haza tersenyum, “Bisa, cantik. Nanti kamu berangkat bareng aku aja.”

Alen tersenyum senang, “Ih gak sabar banget, kakak udah lama gak manggung, apalagi ngerap.”

Haza mengacak rambut Alen hingga berantakan.

“Kamu kan udah sering liat aku ngerap, bocil.”

“Aku udah kelas 3 kak, bukan bocil lagi.”

“Kamu tetep bocil di mata aku, abang kamu, dan papa kamu.”

Lagi, Haza mengacak rambut Alen sehingga membuatnya berantakan dan membuat Alen kesal.

Setelah mendapatkan balasan dari Alen, pria ini menghembuskan napasnya. Ketika pintu terbuka dan terlihatlah seorang pria yang merupakan abang dari kekasihnya ini, Faldo.

“Malam, bang.” ucap Haza canggung

Faldo hanya menatapnya, “Mana martabaknya?”

Haza menatap bingung, “Anjir bang, gue cuma beliin buat Alen.”

“Pulang lo, gak ada inisiatifnya buat beliin gue.”

“Gue kira lo belum pulang elah bang.”

Ditengah perdebatan yang tidak jelas itu, Alen datang ke depan dan menatap aneh kedua pria yang berada di depannya sekarang

“Kalian ngapain sih ribut di sini?”

Haza menatap berbinar kepada Alen, jujur saja dia kangen padahal baru aja jumpa tadi pagi.

“Gue masuk, kalian pada awas aja buat yang macem-macem.” ucap Faldo kemudian segera beranjak dari sana meninggalkan Alen dan Haza

Sekarang tinggal mereka berdua, menatap satu sama lain dengan tatapan yang dalam.

“Mau peluk.” ujar Haza dengan wajah khasnya yang sekarang terlihat seperti anak kecil yang merengek

Alen tertawa. Lalu segera memeluk pria kesayangan setelah kedua pria yang berada di rumahnya. Pelukan yang hangat dalam beberapa menit membuat keduanya nyaman.

“Kangen kamu.” gumam Haza

Haza mengeratkan pelukannya dan mengelus rambut panjang dan lebat Alen. Sedangkan Alen memberikan afeksi kenyamanan dengan mengelus pelan punggung Haza.

“Lepas, kak.” ujar Alen

Pelukan terlepas menampilkan wajah cemberut Haza yang terlihat sangat lucu.

“Lebay lo kak.” ujar Alen lalu duduk di kursi yang ada di teras

Haza juga ikut duduk kemudian memberikan martabak yang ia beli untuk Alen.

“Kan aku baru hari ini bisa ketemu kamu.” rajuknya

Alen tersenyum, “Iya deh. Anyway gimana sama kuliah kamu kak?”

“Ya kayak biasa, sibuk ngurusin acara kampus akhir-akhir ini, aku bakal manggung lagi nanti sama temen-temen.”

Alen terkejut, “Seriusan kak? Ih aku bisa dateng gak?”

Haza tersenyum, “Bisa, cantik. Nanti kamu berangkat bareng aku aja.”

Alen tersenyum senang, “Ih gak sabar banget, kakak udah lama gak manggung, apalagi ngerap.”

Haza mengacak rambut Alen hingga berantakan.

“Kamu kan udah sering liat aku ngerap, bocil.”

“Aku udah kelas 3 kak, bukan bocil lagi.”

“Kamu tetep bocil di mata aku, abang kamu, dan papa kamu.”

Lagi, Haza mengacak rambut Alen sehingga membuatnya berantakan dan membuat Alen kesal.